Infrastruktur Sumber Daya Air dan Permasalahannya

        Infrastruktur Sumber Daya Air (SDA) merupakan model kontinu prakiraan debit air satu langkah kedepan, dengan memanfaatkan perubahan iklim terhadap siklus Hidrologi, membentuk suatu rezim Hidrologi tercatat melalui pengamatan pos-pos utama siklus Hidrologi. Dengan meneliti suatu satuan periode rezim Hidrologi tercatat pada pos-pos utama Hidrologi (P,Q) membuat matriks ketautan komponen-komponen utama siklus Hidrologis dalam ruang dan waktu, dapat dibangun suatu model disebut model kontinu prakiraan debit air sehingga pengelolaan Dam irigasi/waduk dapat dioptimalkan untuk memenuhi suplai air di down stream untuk sektor air irigasi, sektor air DMI dan pembangkit tenaga air (Arwin, Proseding PSDA ITB,1993).

        Ketersediaan sumberdaya air sangatlah beragam secara spatial maupun temporal. Sumber daya air dalam konteks siklus hidrologi merupakan sumber daya yang sangat dinamis. Artinya sumber daya tersebut senantiasa berubah dari waktu ke waktu dan dari satu tempat ke tempat lain. Dengan dinamika tersebut, maka ketersediaan dan penggunaan kebutuhan sumber daya air selalu berubah dan dinamis setiap saat. Terjadinya ketimpangan antara kebutuhan dengan ketersediaan akan menimbulkan masalah, yang kemudian disebut sebagai krisis air. Krisis air ini menurut Unesco dibagi menjadi tiga hal besar, yaitu kelangkaan air (water scarcity), kualitas air (water quality), dan bencana berkaitan dengan air (water-related disaster) (Unesco, 2003).

1. Kelangkaan air (Water Scarcity)
Pemanfaatan sumberdaya air bagi kebutuhan umat manusia semakin hari semakin meningkat. Hal ini seirama dengan pesatnya pertumbuhan penduduk di dunia, yang memberikan konsekuensi logis terhadap upaya-upaya pemenuhan kebutuhan hidupnya. Disatu sisi kebutuhan akan sumberdaya air semakin meningkat pesat dan disisi lain kerusakan dan pencemaran sumberdaya air semakin meningkat pula sebagai implikasi pertumbuhan populasi dan industrialisasi. Sumberdaya air yang dimanfaatkan untuk kebutuhan manusia paling dominan berasal dari air hujan. Menurut Shiklomanov (1997) dalam Unesco (2003) disebutkan bahwa lebih dari 54% runoff yang dapat dimanfaatkan, digunakan untuk memenuhi kebutuhan manusia. Apabila tingkat kebutuhan semakin lama semakin tinggi, maka dikuatirkan ketersediaan air tidak mencukupi. Pada saat ini diperkirakan terdapat lebih dari 2 milyar manusia per hari terkena dampak kekurangan air di lebih dari 40 negara didunia. 1,1 milyar tidak mendapatkan air yang memadai dan 2,4 milyar tidak mendapatkan sanitasi yang layak (WHO/UNICEF, 2000). Implikasinya jelas pada munculnya penyakit, kekurangan makanan, konflik kepentingan antara penggunaan dan keterbatasan air dalam aktivitas-aktivitas produksi dan kebutuhan sehari-hari.

Prediksi pada tahun 2050 secara mencemaskan dikemukakan bahwa 1 dari 4 orang akan terkena dampak dari kekurangan air bersih (Gardner-Outlaw and Engelman, 1997 dalam UN, 2003). Pada saat ini di negara-negara berkembang mempunyai kesulitan dalam memenuhi kebutuhan air minum per kapita per tahun yaitu 1.7000 m3 sebagai air bersih yang diperlukan untuk aktivitas sehari-hari dan untuk pemenuhan aspek kesehatan. Hal ini sebagian besar terdapat di Afrika, diikuti kemudian oleh Asia dan beberapa bagian di Eropa Timur dan Amerika Selatan (WWAP, 2002).

Sementara itu dalam konteks lokal di Indonesia, kelangkaan air ini telah menjadi permasalahan dalam manajemen sumberdaya air yang harus dipecahkan. Kelangkaan air akan sangat terlihat pada saat musim kemarau datang. Sebagai salah satu contoh, adalah fenomena di Jakarta. Ibu Kota negara ini dialiri 13 sungai, terletak di dataran rendah dan berbatasan langsung dengan Laut Jawa. Seiring dengan pertumbuhan penduduk Jakarta yang sangat pesat, berkisar hampir 9 juta jiwa, maka penyediaan air bersih menjadi permasalahan yang rumit. Dengan asumsi tingkat konsumsi maksimal 175 liter per orang, dibutuhkan 1,5 juta meter kubik air dalam satu hari. Neraca Lingkungan Hidup Daerah Provinsi DKI Jakarta tahun 2003 menunjukkan, Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) diperkirakan baru mampu menyuplai sekitar 52,13 persen kebutuhan air bersih untuk warga Jakarta. (Kompas, 20 Juni 2005).

2. Kualitas Air (Water Quality)
Meskipun secara kuantitatif terdapat keseimbangan antara jumlah air yang tersedia dengan kebutuhan yang diperlukan, namun saat ini pencemaran air sungai, danau dan air bawah tanah meningkat dengan pesat. Sumber pencemaran yang sangat besar berasal dari manusia, dengan jumlah 2 milyar ton sampah per hari, dan diikuti kemudian dengan sektor industri dan perstisida dan penyuburan pada pertanian (Unesco, 2003). Sehingga memunculkan prediksi bahwa separuh dari populasi di dunia akan mengalami pencemaran sumber-sumber perairan dan juga penyakit berkaitan dengannya.

Pencemaran air adalah masuknya atau dimasukkannya makhluk hidup, zat, energi, atau komponen lain ke dalam air oleh kegiatan manusia, sehingga kualitas air turun sampai ke tingkat tertentu yang menyebabkan air tidak dapat berfungsi sesuai dengan peruntukannya. Pencemaran yang diakibatkan oleh adanya limbah industri dan domestik mempunyai banyak akibat buruk. Pencemaran limbah dapat mengakibatkan menurunnya keindahan lingkungan, penyusutan sumberdaya, dan adanya wabah penyakit dan keracunan. Masuknya limbah ke dalam sungai selain memberikan dampak terhadap perubahan fisik air sungai juga memberikan dampak secara khemis dan biologis terhadap air sungai. Secara umum dampak tersebut adalah terjadinya dekomposisi bakteri aerobik, dekomposisi bakteri anaerobik, dan perubahan karakter biotik.

Visi 21 yang diungkapkan PBB terhadap target penyediaan air dan sanitasi adalah: 1) Mengurangi separuh dari proporsi manusia dari tanpa akses menuju fasilitas sanitasi higenis pada tahun 2015, 2) Mengurangi separuh proporsi masyarakat dari tanpa akses air bersih yang berkelanjutan menuju kecukupan secara kuantitatif pada tahun 2015, dan 3) Penyediaan air dan sanitasi yang higenis pada tahun 2015 (WSSCC, 2000).

Secara struktural dan institusional pelaksanaan manajemen perkotaan, industri dan pertanian pada negara-negara berkembang belum berjalan dengan baik. Pada beberapa negara di Asia bahkan sangat buruk, hal tersebut secara deskriptif dinyatakan dalam laporan CSE (1999) tentang gambaran sungai-sungai di India. Dikatakan bahwa sungai-sungai di India, terutama sungai-sungai kecil, semuanya mengandung aliranberbahaya (toxic stream). Dan bahkan sungai yang terbesar seperti Sungai Ganga juga sangat jauh dari katagori sungai bersih. Kondisi ini disebabkan oleh pertumbuhan populasi, modernisasi pertanian, urbanisasi dan industrialisasi-yang semakin hari semakin besar. Sebagaian besar penduduk di kota-kota di India menggantungkan sumber air minumnya dari sungai. Dengan demikian mereka berada pada kondisi dan keadaan yang terancam.

Di Indonesia, sebagai salah satu contoh kasus adalah kondisi pencemaran di Sungai Gajahwong Yogyakarta. Sungai Gajahwong memiliki tidak kurang dari 73 daerah pembuangan sampah, dimana 97%nya merupakan pembuangan dengan kategori sedang sampai dengan banyak, artinya produksi sampah di sepanjang daerah ini sangat besar dan sebagian besar sampahnya berasal dari warga sekitar. Apabila dilihat dari banyaknya titik-titik pembuangan sampah yang ada maka tidak mengherankan bila kualitas air sungai di Gajahwong mengalami penurunan. Hal itu antara lain terlihat dari tingginya kadar Cl yang mencapai 19,8 mg/l pada daerah titik pengamatan disekitar daerah Dayu hingga Terminal Condong Catur, dan bakteri coli yang melebihi 2400 MPN/100ml. Sedangkan di daerah tengah dari titik pengamatan Nologaten hingga Museum Affandi diperoleh nilai Cl sebsar15,8-31,6 mg/l dan kadar coli juga lebih tinggi dari 2400 MPN/100 ml. Sedangkan di daerah hilir dari titik pengamatan daerah Sukowaten hingga Wirokerten diperoleh kadar Cl berkisar dari 26-180 mg/l dan kadar coli 1100 hingga lebih dari 2400 MPN/100ml (Widyastuti dan Marfai, 2004).

3. Bencana alam terkait air (Water Related Disaster)
Sumberdaya air dapat mengakibatkan kerusakan dan bencana di muka bumi. Bencana alam yang terkait dengan sumberdaya air antara lain banjir, kekeringan, pencemaran air tanah, dan tsunami. Pada Tahun 1991-2000 terdapat lebih dari 665.000 manusia meninggal dunia dalam 2.557 kejadian bencana alam. Dimana 90% diantaranya terkait dengan air (Unesco, 2003). Meningkatnya konsentrasi manusia dan meningkatnya infrastruktur pada daerah-daerah rawan seperti pada dataran banjir dan daerah pesisir serta pada daerah-daerah lahan marginal mengindikasikan bahwa terdapat banyak populasi yang hidup dalam tingkat resiko tinggi (Abramotivz, 2001). Banjir merupakan bencana alam terbesar berkaitan dengan air. Fenomena bencana banjir merupakan salah satu dampak dari kesalahan pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan. Banjir terjadi karena beberapa hal;

a. terjadinya penggundulan hutan dan rusaknya kawasan resapan air di daerah hulu. Seperti diketahui bahwa daerah hulu merupakan kawasan resapan yang berfungsi untuk menahan air hujan yang turun agar tidak langsung menjadi aliran permukaan dan melaju ke daerah hilir, melainkan ditahan sementara dan sebagian airnya dapat diresapkan menjadi cadangan air tanah yang memberikan kemanfaatan besar terhadap kehidupan ekologi dan ekosistem (tidak hanya manusia). Tindakan penebangan hutan dan perusakan daerah hulu tidak terlepas dari sebuah alasan untuk memenuhi kebutuhan materialitas manusia.

b. beralih fungsinya penggunaan lahan di daerah hulu dari kawasan pertanian dan budidaya menjadi kawasan permukiman dan kawasan terbangun juga mengakibatkan aliran permukaan yang lebih besar ketika hujan turun. Aliran permukaan yang besar akan menyebabkan terjadinya banjir apabila kapasitas daya tampung saluran sungai dan drainase tidak mencukupi. Fenomena perkembangan permukiman juga tidak dapat dielakkan lagi seiring dengan perkembangan pemenuhan kebutuhan hidup manusia.

c. banjir juga disebabkan oleh terjadinya pendangkalan di saluran sungai dan drainase akibat terjadinya erosi di daerah hulu. Dengan demikian kapasitas daya tampung menjadi berkurang dan air diluapkan ke berbagai tempat sebagai banjir.

d. banjir juga tidak luput dari perilaku manusia dan dampak dari pembangunan fisik perkotaan. Banyak kawasan terbuka menjadi kawasan terbangun. Daerah terbuka yang dulunya bermanfaat menjadi kawasan peresapan sekarang semakin berkurang. Implikasinya tidak ada lagi atau sangat sedikit sekali air hujan yang dapat diresapkan kedalam tanah sebagai cadangan air tanah, dan sebagian besar di alirkan sebagai aliran permukaan sehingga kapasitas saluran drainase terutama di kawasan perkotaan menjadi tidak memadai.

e. tidak adanya kesadaran dan kepekaan lingkungan dari perilaku masyarakat. Kegiatan pembuangan sampah dan limbah padat industri menyebabkan terjadinya pendangkalan dan penyumbatan aliran sungai (Marfai, 2005).

Selain banjir, kekeringan juga merupakan bencana alam terkait dengan sumberdaya air. Kekurangan sumberdaya air dalam kurun waktu yang lama akan mengakibatkan kekeringan. Kekeringan dapat dikategorikan menjadi tiga, yaitu 1) Kekeringan meteorologis yaitu keadaan suatu wilayah pada saat-saat tertentu terjadi kekurangan (defisit) air karena hujan lebih kecil daripada nilai evapotranspirasinya (penguapan air). Di wilayah ini terjadi kekurangan air pada musim kemarau sehingga masyarakat sudah terbiasa dan menyesuaikan aktivitasnya dengan iklim setempat. Hanya saja, penyimpangan musim masih dapat terjadi. Penyimpangan inilah yang sering menimbulkan bencana kekeringan. 2) Kekeringan hidrologis merupakan gejala menurunnya cadangan air (debit) sungai, waduk-waduk dan danau serta menurunnya permukaan air tanah sebagai dampak dari kejadian kekeringan. Keberadaan hutan perlu dipertahankan dan dilestarikan agar dapat menyimpan air cukup. Dan 3) Kekeringan pertanian, kekeringan muncul karena kadar lengas tanah di bawah titik layu permanen dan dikatakan tanaman telah mengalami cekaman air (Bakosurtanal dan PSBA UGM, 2002).

Implikasi dari bencana kekeringan terhadap pertanian adalah berupa kegagalan panen. Sebagai contoh, gagal panen yang terjadi di daerah Nusa Tenggara Timur (NTT) yang disebabkan minimnya curah hujan melanda 117 kecamatan mencakup 1.108 desa di 16 kabupaten/kota. Jumlah penduduk korban gagal panen mencapai 101.973 kepala keluarga (KK) atau 452.920 jiwa (Indomedia, 2005). Di berbagai daerah di Indonesia, terutama bagian timur, yang curah hujannya relatif lebih rendah dibandingkan di bagian barat, maka pada musim kemarau panjang lebih sering terkena bencana kekeringan, galgal panen dan gizi buruk.

0 komentar:

Posting Komentar